Manis Kue SPBU di Indonesia

Salam Redaksi Majalah Global Energi Edisi 72logo-blue
Oleh: Dr. Ibrahim Hasyim

 

MANIS KUE SPBU DI INDONESIA

Berdasarkan data yang ada, rasio antara Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) dengan jumlah penduduk di Indonesia, belum ideal. Kenyataan inilah yang membuat investor asing “berdatangan” ke Indonesia untuk berebut “kue” di bisnis bahan bakar minyak (BBM). Hingga saat ini, setidaknya SPBU dari 4 perusahaan induk asing hadir di negeri ini, meski dalam perjalanannya SPBU Petronas “keok” di tengah perjalanan. Sementara Pertamina terus berkibar hingga merambah daerah terluar.

Pemain induk asing di SPBU di Indonesia, seperti Shell, Petronas, Total dan terakhir SPBU Vivo, Kamis (26/10/2017), meresmikan SPBU perdananya yang berlokasi Raya Cilangkap RT007/RW003 Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Adapun harga bensin jenis Revvo 89 dihargai Rp 6.100 per liter, Revvo 98 Rp 7.500 per liter dan Revvo 92 Rp 8.250 per liter. Seminggu kemudian SPBU tersebut menaikkan harga dengan alasan mengikuti gerak harga minyak dunia yang mengalami kenaikan.

Sementara Petronas yang memulai bisnis SPBU-nya di Indonesia pada pada 2005, menyusul berlakunya ketentuan yang membuka pasar hilir energi dalam negeri. Dulu Petronas memiliki 19 SPBU, tetapi sejak 31 Agustus 2012 Petronas tutup di Indonesia.

Sejak pasar bbm dalam negeri dibuka sesuai undang undang migas no.22/2001, tidak banyak badan usaha niaga migas baru yang membuka SPBU. Dari dalam negeri , hanya Aneka Kimia Raya (AKR) yang bermain di SPBU, itupun terbatas jumlahnya dan berada disekitar lokasi dimana infrastruktur rantai pasoknya sudah terbangun. Shell yang termasuk expansive. Sekalipun mereka tertatih tatih pada awalnya, tapi dengan turunnya harga minyak dunia yang membuat disparitas harga antara bbm subsidi dan non subsidi mengecil, maka harga jualan mereka menjadi kompetitif. Saat ini mereka sudah merambah ke beberapa kota di Jawa dan luar Jawa, telah mempunyai ??? SPBU di Indonesia. Shell sangat konsisten membangun kehandalan mata rantai pasok di wilayah yang akan dibangun SPBU dan adanya kebutuhan BBM industri.

Sejak 2 tahun yang lalu, iklim berusaha di SPBU didalam negeri menjadi lebih menarik lagi. Dengan kebijakan Pemerintah melalui peraturan Presiden no. 191 tahun 2014 , telah menjadikan premium bukan lagi bbm tertentu tapi menjadi bbm penugasan untuk luar Jawa, Madura, Bali (JAMALI). Itu berarti, diwilayah JAMALI sudah betul terbuka untuk semua badan usaha, bisa jualan segala macam jenis BBM umum. Apakah dengan kondisi terakhir ini dapat menjadi lebih menarik dan menjadi stimulan bagi pemain SPBU dunia untuk datang ke Indonesia? Tentu kita akan lihat kedepan nantinya , tapi paling tidak , kehadiran SPBU ViVO itu sudah memberi sign , ternyata ada badan usaha yang mulai memanfaatkan peluang itu. Apalagi, karena fakta, pasar BBM di Indonesia masih cukup besar dan menjanjikan, jumlah penduduk besar dan pertumbuhan ekonomi terus meningkat.

Tetapi apakah kemudian dengan adanya isu “keharusan” untuk membuka SPBU di daerah Terdepan, Terluar dan Terpencil (3T), akan berpengaruh pada iklim investasi? Secara politis, publik meminta kesetaraan, padahal menurut teknoekonomi , tidaklah mudah untuk melakukan pekerjaan itu. Seakan yang dibayangkan, hanya membangun SPBU kecil disana, padahal yang paling mendasar adalah bagaimana bisa membangun mata rantai pasok BBM yang mendukung di wilayah itu. Kenapa Pertamina dan AKR bisa melakukannya, karena mereka sudah memiliki mata rantai pasok yang memadai di wilayah itu. Kalau itu sudah menjadi prasyarat pada pemberian izin niaga bbm berfasilitas untuk membangun infrastruktur BBM di daerah terluar, termiskin dan terbelakang, maka itu harus dimulai dulu dengan membangun rantai pasok BBM yang memadai. Kearah itu lah sebenarnya yang harus dituju, agar pembukaan pasar BBM dalam negeri dapat memberi kemanfaatan bagi Negara dan masyarakat.

(Visited 59 times, 1 visits today)

BELUM ADA TANGGAPAN

Tulis Tanggapan