Berharap Pada Panas Bumi
Salam Redaksi Majalah Global Energi Edisi 65
Oleh: Dr. Ibrahim Hasyim
BERHARAP PADA PANAS BUMI
Target bauran energi nasional telah menetapkan, kontribusi energi baru dan terbarukan adalah sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan untuk mencapainya sangatlah berat mengingat saat ini baru mencapai sekitar 10 persen. Indonesia banyak sumber energi baru dan terbarukan, akan tetapi semuanya masih punya keterbatasan untuk dikembangkan. Sebut saja energi angin, ternyata tidak stabil hembusannya, energi matahari ternyata butuh lahan yang luas, sedangkan energi biomassa masih sulit dikembangkan secara besar besaran. Jadi satu satunya sumber energi yang mempunyai peluang paling mungkin saat ini untuk dikembangkan dalam mengejar target bauran energi nasional 23 persen itu, adalah energi panas bumi. Porsi 23 persen itu setara dengan 45.000 MW.
Indonesia, mempunyai potensi energy panas bumi kisaran 29.00 mega watt (MW) ????. Terbesar di dunia , (40% dari cadangan dunia). Hingga pemanfaatn energy ini masih di kisaran 10%.Pada 2009, kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia 1.189 MW. Sampai dengan pertengahan 2016 kapasitas terpasang listrik panas bumi RI sebesar 1.493,5 MW atau hanya bertambah 43,5 MW setiap tahunnya.
Mei mendatang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) direncanakan meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).Adapun, Sarulla memiliki potensi pengembangan hingga 1.000 MW berdasarkan data pada 2006 ketika Medco memenangkan lelang. Nantinya PLTP ini, akan menjadi yang terbesar di dunia.
Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus pada pengembangan industri panas bumi. Dengan mengetahui potensi panas bumi Indonesia yang sangat besar, saat itu presiden mewacanakan akan membentuk BUMN khusus untuk mengurusi pengembangan panas bumi.
Target dan indikator yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan pengembangan panas bumi, berpotensi memberikan harapan lebih baik bagi pelaku industri. Kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada 2025 ditargetkan mencapai 7.200 MW atau bertambah sekitar 635 MW setiap tahun. Komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 41% pada 2020 juga berpotensi memberikan dampak positif bagi industri panas bumi.
Realisasi pengembangan panas bumi RI relatif tertinggal dibandingkan sejumlah negara seperti Filipina, Amerika Serikat, New Zealand, dan Jepang. Saat ini kapasitas terpasang PLTP di Filipina mencapai 74% dari total potensi panas bumi negara tersebut. Kapasitas terpasang PLTP AS sekitar 56% dari total potensi. Kapasitas terpasang PLTP New Zealand dan Jepang sekitar 27% dari potensi panas buminya. Adapun kapasitas terpasang PLTP Indonesia baru 4%—5 % dari total potensi.
Kembali ke Sarulla, dimana Unit I sudah beroperasi dengan kapasitas 110 mega watt (MW). Nantinya, menyusul pengoperasian Unit II dan Unit III yakni pada September 2017 dan Mei 2018. Totalnya, kapasitas listrik yang dihasilkan dari PLTP Sarulla sebesar 3×110 MW atau 330 MW. Adapun, Sarulla memiliki potensi pengembangan hingga 1.000 MW berdasarkan data pada 2006 ketika Medco memenangkan lelang.
Panas bumi memang merupakan salah satu energy terbarukan yang harus kita kembangkan secara terus menrus, karena potensi kita cukup besar. Jangan sampai berbagai kebijakan malah menjadi kontradiktif. Sarulla yang sudah membahana ke seantere dunia, jangan sampai pengembangan panas bumi selanjutnya “mati”, karena suatu kebijakan.
Seperti halnya yang dikeluhkan sejumlah investor dimana sejumlah kebijakan malah “mematikan” investasi di sektor ini.Sejumlah investor kini mengeluhkan Peraturan Menteri Nomor 10, dan 12 tahun 2017 dianggap dapat mematikan usaha dan menghambat investasi. Skema Build, Own, Operate and Transfer (BOOT) yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (3) Permen ESDM No. 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) tidak lazim, sesuatu yang baru. Karena itu, Pemerintah harus duduk dan menuntun investor dalam kesulitannya mengimplementasikan regulasi baru itu. Ini harus mendapat perhatian pemerintah, agar investasi di sektor ini terus bergairah. (*)