Akankah Sejarah Berulang Kembali ?
Salam Redaksi Majalah Global Energi Edisi 76
Oleh: Dr. Ibrahim Hasyim
AKANKAH SEJARAH BERULANG KEMBALI ?
Akankah sejarah berulang kembali? Itulah pertanyaan besar saat ini tatkala negara menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia.
Mari kita ingat, kala itu dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, harga minyak dunia melambung tinggi, sementara untuk menaikkan harga bbm dalam negeri menjadi buah simalakama. Menaikkan harga dipastikan akan mengundang reaksi masyarakat yang berdampak pada politik, sementara itu dipihak lain biaya subsidi BBM terus membengkak yang juga berdampak pada tergerusnya dana pembangunan nasional.
Kini sepertinya situasi kondisi itu bakal dihadapi oleh Presiden JKW-JK, sekiranya harga minyak dunia terus menaik, sementara tahun politik 2018 sudah dimulai. Penyebabnya adalah *satu*, harga minyak dunia sudah merangkak naik dan kedepan sangat berpotensi merangkak naik lagi, dan kalau ini terjadi tentu saja akan berdampak pada pasar bahan bakar minyak(BBM) dalam negeri.
Saat ini, sesungguhnya di tingkat badan usaha sudah mensikapinya. Badan usaha Shell, Total, AKR dan Pertamina sudah menaikkan harga BBM dalam negeri.
Seperti kita ketahui, sejak Sabtu (24/2/2018), PT Pertamina (Persero) misalnya, telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi seperti harga Pertamax dan Pertamax Turbo, Pertamina Dex dan Dexlite, sedangkan premium juga minyak tanah dan minyak solar subsidi tidak.berubah. Khusus untuk premium memang unik, karena sebenarnya bukan BBM bersusidi, jadi untuk di Jawa, Madura, Bali adalah bebas, sementara diluar wilayah itu diberi status penugasan dengan insentive rp. 1000 tiap liternya. Karena bbm premium bukan lagi bbm bersubsidi, maka badan usaha tentu saja bisa merubah harganya, akan tetapi Pemerintah menahannya. Disitulah ke unikannya, sehingga kebijakan itu secara perlahan akan berdampak pada keuangan Pertamina dan AKR, kedua badan usaha yang diberi penugasan mendistribusikannya.
Kenaikan harga bbm non subsidi , selama ini sudah sangat biasa naik turun di seluruh wilayah nusantara, tetapi sekali ini terasa lain karena kenaikan yang lebih tinggi. Ini karena dampak dari kenaikan harga minyak dunia yang lebih tinggi pula.
Pertanyaan kemudian, seperti apa prediksi harga minyak dunia kedepan? Analis mengatakan, pertama sekali tentu akan berkaitan dengan *supply demand* minyak dunia. Ada pertanda pemulihan ekonomi dunia terutama di negara besar termasuk Amerika Serikat, sehingga diperkirakan akan menaikkan *demand* minyak dunia dan tentu hal ini sangat sensitif terhadap harga jika kenaikan itu tidak diimbangi oleh *supply*. Sementara itu kalau dilihat dari sisi *supply*, maka produksi Amerika Serikat yang selama ini terus mempengaruhi sisi pasok, tidak seganas dulu lagi, karena produksi shale gas nya sudah mentok. Dengan kondisi seperti itu , maka masih sangat mungkin jika harga minyak dunia naik lagi. Lihat saja harga batubara yg terus tinggi dan perubahan harga batubara ini akan sangat berkorelasi dengan harga minyak.
Nah kalau demikian, apakah harga minyak premium dan minyak solar bisa ditahan lagi kedepan? Untuk menghadapinya, Pemerintah memang tidak mempunyai pilihan banyak.Apalagi Menteri energi dan sumber daya mineral Ignasius Jonan sudah menyatakan tidak ada kenaikan harga bbm premium dan minyak solar di tahun 2018.
Ada pertanyaan, apakah setiap kenaikan harga minyak “merugikan” bagi APBN? Tidaklah begitu. Nilai positifnya pasti ada. Berdasar asumsi yang tercantum dalam APBN 2018 lalu, pemerintah mematok harga minyak mentah sebesar 48 dolar AS per barel. Sementara itu, realisasinya mengalami kenaikan di posisi 51,2 dolar AS per barelnya. Secara otomatis, hal tersebut akan berdampak pada naiknya penerimaan negara.
Malah menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, jika harga minyak dunia naik 1 dollar AS, maka negara akan mendapat keuntungan bersih (netto) sebesar Rp 1,1 triliun.
Karena itu pilihan terminal mitigasi dampak kenaikan harga minyak adalah pada APBN Perubahan 2018. Disana akan dibahas perubahan disisi penerimaan dan pengeluaran. Diperkirakan isu minyak premium dan solar akan menjadi perdebatan yang sengit. Kalau harga BBM tetap tidak naik, maka yang terkena langsung adalah badan usaha, kondisi keuangan akan terganggu, tidak hanya Pertamina sebagai badan usaha milik negara, tetapi juga AKR sebagai badan usaha swasta. Karena itu diperkirakan badan usaha akan melakukan upaya meminimalkan kerugian dan itu akan dilakukan melalui minimalisasi penyaluran. Dampak dipasar, sudah barang tentu dengan resiko kelangkaan terjadi dimana mana dan kondisi itu tentu tidak boleh terjadi di tahun politik. Karena itu ada pilihan lain dengan menambah subsidi dengan resiko, minyak premium akan kembali statusnya menjadi bbm bersubsidi kecuali kalau volume penugasan dikurangi di wilayah tertentu. Semua itu tentu pilihan pilihan sulit. Pemerintah harus melakukan itu dengan bijak dan jangan lupa kepada masyarakat harus dijelaskan kesulitan ini sambil berharap akan ada partisipasinya. Dari meja redaksi kami berharap, dampak kenaikan harga minyak dunia dapat dikelola dengan baik dan jangan sampai sejarah simalakama harga BBM dalam negeri terus saja berulang kembali (*) @hasyim_ibrahim