Skema PSC Sebaiknya untuk Lapangan Migas yang Sulit

oleh -
0 57

Ibrahim Hasyim di ManadoJakarta – Skema bagi hasil migas dalam bentuk production sharing contract (PSC) yang selama ini diberlakukan untuk sebagian besar kontrak kerja sama migas antara pemerintah dengan kontraktor, sebaiknya diberlakukan hanya untuk lapangan migas yang sulit saja.

“PSC menurut saya baiknya hanya untuk lapangan migas yang sulit, seperti laut dalam. Itu karena membutuhkan teknologi dan biaya yang sangat tinggi. Sedangkan untuk lapangan yang mudah, baiknya dibuat kontrak jenis baru. Hal ini untuk memaksimalkan pendapatan negara,” kata Ketua Umum Alumni Akamigas, Ibrahim Hasyim kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (31/12).

Menurut Ibrahim Hasyim, untuk lapangan yang relatif mudah, bisa dikerjakan oleh anak bangsa. Kalaupun tidak, menurut dia, cukup di-sub kontraktorkan saja, tanpa melalui kontrak PSC.

Pencetus ide kontrak bagi hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktik yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada di tangan pemiliknya. Pada kontrak bagi hasil, kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak.

Ibnu Sutowo dalam bukunya Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara (1970) menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. PSC dimulai di Indonesia 1966 antara Pertamina dan IIAPCO, dan kontrak sejenis di buat di Peru 1971. Kemudian banyak negara yang memberlakukannya, di antaranya negara pengekspor minyak.

Sumber: beritasatu/investor daily (Euis Rita Hartati/ERH)
@hasyim_ibrahim

(Visited 80 times, 1 visits today)

TERKAIT

0 109

0 137

BELUM ADA TANGGAPAN

Tulis Tanggapan