Minyak Tanah di Kampung Naga

Minyak Tanah di Kampung Naga
Minyak Tanah di Kampung Naga

Hampir seluruh Indonesia‎, pemakaian minyak tanah untuk kebutuhan memasak dan penerangan di rumah tangga telah dikonversikan ke LPG 3 kg dan upaya itu telah menghemat biaya anggaran subsidi lebih dari rp.100 trilyun. Pemakaian minyak tanahpun turun drastis, dari sebelumnya mencapai 12 juta kiloliter, pada tahun 2015 ini tinggal 0,8 juta kiloliter saja. Masih adanya wilayah yang belum di konversi pada umumnya adalah dikarenakan belum adanya infrastruktur stasiun pengisian bulk Elpiji (SPBE) disana ataupun di wilayah pulau pulau terpencil, utamanya di kawasan Indonesia belahan timur.

Anehnya, di kampung naga yang letaknya di Tasikmalaya, suatu wilayah yang ramai dan berbagai infrastruktur‎ energi tersedia disana, tapi masyarakatnya masih memakai minyak tanah bersubsidi. Saya bertanya kepada kepada pak Ucup , seorang Pemuka masyarakat di kampung naga, kenapa? Masyarakat kami boleh tidak dapat bantuan lain dari Pemerintah, tapi soal bantuan minyak tanah bersubsidi adalah mutlak. Kami ingin mempertahankan budaya lokal. Kami tidak boleh pakai listrik, karena itu sebabnya, lihatlah tiang listrik terakhir hanya boleh sampai dipinggir kampung kami, yang luasnya 1,5 ha dengan 113 bangunan (rumah dan fasilitas adat sosial lainnya) didalamnya. Untuk memasuki kampung naga yang letaknya 150 m dibawah jalan raya lintas utama Tasikmalaya – Garut dan dihuni oleh 300 an orang, pengunjung harus jalan kaki turun dan naik kembali , melalui 439 anak tangga. Meskipun turun naik itu cukup berat dan melelahkan, namun jumlah turis yang datang dari dalam dan luar negeri, cukup banyak.

Bila kita lihat sepintas, meskipun secara umum kehidupan sehari hari di kampung naga banyak yang sama, tapi ada beberapa keunikannya yang terus dipertahankan. Ada yang bersawah tapi hanya boleh pakai pupuk organik. Malam hari anak anak belajar, tapi penerangannya hanya pakai lampu minyak tanah. Mereka memakan nasi dan ikan, tapi memasaknya dengan kayu bakar. Anak-anak punya hiburan dengan main layang-layang, bisa pakai handphone, tapi tidak untuk televisi. Kekhususan, antara lain seperti yang disebutkan tadi itu, telah membuat kampung naga menjadi objek pariwisata yang ramai dikunjungi.

Kembali ke soal pemakaian minyak tanah, sebenarnya pada saat ini juga masih dipakai di Gorontalo , suatu wilayah yang sudah konversi minyak tanah ke LPG. Hanya saja pemakaian minyak hanya dilakukan sekali setahun yaitu pada setiap tanggal 27 Ramadhan, pada kegiatan budaya yang disebut dengan Tumbilotohe, yaitu penyalaan obor minyak tanah di semua rumah ‎ pada malam hari itu. Pesta ini adalah budaya yang sudah turun temurun, sehingga menjadi objek pariwisata sampai saat ini. Hanya saja pada tahun terakhir ini, minyak tanah yang dipakai adalah minyak tanah tidak bersubsidi. Hal ini bisa terjadi, karena Pemerintah daerah menggunakan anggaran bidang pariwisata untuk membeli minyak tanah dengan harga keekonomian.

Bagaimana dengan kampung naga? Sepertinya ada perbedaan. Sekalipun kampung naga sudah menjadi objek pariwisata, akan tetapi pemakaian minyak tanah disini bukan untuk hiasan yang dilakukan sesaat, tetapi pemakaian minyak tanah dilakukan setiap hari sepanjang tahun dan untuk keperluan penerangan rumah tangga. Apakah untuk kasus ini bisa dibiayai oleh anggaran pariwisata? Tentu untuk itu perlu pengkajian mendalam.

(Visited 81 times, 1 visits today)

BELUM ADA TANGGAPAN

Tulis Tanggapan